Suatu ketika seorang pemuda bernama Solihin pernah
bermimpi bertemu dengan seorang kakek tua dengan jenggot putihnya yang tebal
dan memakai pakaian kerajaan terdahulu, dalam mimpinya tersebut ia diberi
petunjuk oleh si kakek agar segera pergi merantau, maka ia akan bertemu dengan
seorang wanita yang cantik jelita di tengah perantauannya tersebut, dan wanita
itulah yang akan menjadi pasangan hidup (istri) nya kelak, tidak hanya itu ia
pun bisa memperoleh kebahagiaan yang tak berpenghujung. Kakek itu menyuruh Solihin
merantau ke lembah bayangan.
Keesokan paginya, Solihin pun akhirnya pergi mengikuti
saran dan petunjuk dari kakek yang ada dalam mimpinya semalam, dengan membawa
bekal seadanya ia pun berjalan menerobos sengatnya terik matahari dengan membawa
serta kudanya. Meskipun ada perasaan cemas yang menghantui di setiap langkahnya
dan resah di benaknya kalau seandainya mimpi itu hanyalah bunga tidur belaka,
tetapi perasaan itu tak lagi terasa ketika sosok wanita yang dimaksudkan si
kakek membayangi pikirannya hingga menutupi kecemasan dan rasa gelisahnya
tersebut. Namun, masih ada satu hal yang terbentur di pikiran Solihin yaitu
mengenai keberadaan lokasi lembah bayangan.
“Kemana aku harus
mencari lembah itu?” Pikir Sholihin sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Belum jauh berjalan, Solihin tiba-tiba saja berbalik
arah tujuan dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia mengurungkan niat yang
mustahil baginya untuk diwujudkan. Menurutnya lembah bayangan hanya ada dalam
mimpi dan wanita yang cantik jelita itu hanya ada dalam angan-angan.
“Suatu saat nanti
aku akan mendapatkan wanitaku dan kebahagiaanku jika seandainya Yang Maha Kuasa
memang berkehendak atas hal itu. AMIN.” Gumam hati Solihin untuk lebih
meyakinkan lagi dirinya bahwa yang berhak menentukan jalan hidup manusia adalah
Rabbnya, Tuhan Yang Maha Esa dan bukan kakek jenggot putih yang ada dalam
mimpinya.
Malam harinya, Solihin kembali bermimpi bertemu dengan
kakek yang sama pada mimpi sebelumnya dan membahas masalah yang sama pula. Akan
tetapi dalam mimpi kali ini si kakek merubah wujudnya menjadi sesuatu yang
berbeda, sesuatu yang menyilaukan mata berupa gumpalan cahaya yang
melayang-layang di atasnya.
“Solihin…
Sesungguhnya kau adalah pemuda yang baik, kau memiliki hati yang luhur, meski
banyak pikiran namun keputusan dan perbuatannmu selalu bijaksana, dan kau juga
meyakini Rabbmu”
“Siapa kau
sebenarnya?” Tanya Solihin dengan tubuh gemetar ketakutan.
“Akulah Rabbmu” Jawab-Nya
dengan penuh keagungan.
Mendengar hal itu, Solihin dengan segera berlutut,
sujud, dan memohon ampunan dari-Nya.
“Ampunkan
hamba-Mu ini yang pernah lalai dan hampir terperdaya oleh nikmat dunia, sekali
lagi ampunkan hamba-Mu ya Rabb.”
“Bangunlah
Sholihin, hamba-Ku! Hari itu, engkau memang telah gelap mata dan hendak
melakukan kesyirikan. Namun, belum tiba seperempat dari perjalananan, engkau
sudah berpaling mengurungkan niat itu dan lekas menyadari kesalahanmu.
Sesungguhnya, engkau telah berhasil melewati ujian yang Aku berikan, maka
kebahagiaan lahir dan bathin akan segera engkau peroleh.”
“Terima kasih
atas kebijaksanaan-Mu ya Rabb, tapi bagaimana dengan kelalaian hamba yang
dahulu pernah terjadi? akankah dapat terbuka pintu maaf bagi hamba-Mu ini?”
“Sebenarnya,
pintu maaf itu telah terbuka sebelum kau memintanya.”
Seketika Solihin terbangun dari mimpinya dan seraya
mengucap “ASTAGFIRULLAHALADZIM” sambil menyapu wajah dengan kedua tangannya,
diikuti hembusan nafas yang panjang memperlihatkan beban yang selama ini
terpendam seakan ikut terbawa bersama nafas yang telah dihembuskan, hal itu
sudah cukup membuatnya merasa lapang dan lega atas peristiwa yang menimpanya
tempo hari.
“Sudah waktunya
shalat subuh.” Sholihin bergegas meninggalkan tempat tidur dan pergi melaksanakan
ibadah shalat seperti yang sudah biasa dilakukannya setiap hari.
Keesokan harinya, datanglah seorang wanita yang membawa
serta keretanya (tanpa kuda) singgah di depan rumah Sholihin. Sesekali wanita
itu menggerutu dan teriak memanggil-manggil seseorang yang dengan sukarela mau
membantunya. Dari dalam rumah, Sholihin mendengar suara gerutu dan teriakan
wanita tersebut. Sholihin pun keluar, rupanya dibalik suara itu, ada sosok
wajah yang dengan cepat mampu menggetarkan hatinya. Bagi Sholihin, dia adalah
bidadari yang turun dari langit.
“Apa yang terjadi?”
Tanya Solihin sementara masih terpaku menatap wajah si wanita seraya mendekat
perlahan ke arahnya.
“Aku ingin pulang
ke rumah, tapi aku hanya punya kereta ini, kudanya lari entah kemana. Karena
itu aku meminta tolong kepada tuan untuk mengantarkanku pulang, sekiranya tuan
punya kuda, akan lebih baik.” Jelas wanita itu.
Tersadar dari lamunan, Solihin mengucap “Astagfirullahaladzim,
bukan mukhrim.”
“Iya, ada. Mari
saya antar!” Dengan senang hati, Solihin pun mengambil kudanya, lalu bergegas mengantarkan wanita itu ke
tempat asalnya.
Alangkah terkejutnya Solihin ketika tiba di tempat
tujuan, bukan rumah yang dijumpainya, melainkan sebuah istana yang sangat
megah, disambut oleh para pengawal istana. Belum selesai Solihin terperangah
oleh kemegahan istana tersebut, si wanita yang tidak lain adalah Sang putri
yang baru saja pulang dari perjalanan panjangnya menarik tangan Solihin masuk
ke dalam istana “Ayo, masuk!”
“Kamu… seorang putri?”
Tanya Solihin keheranan.
“Iya, kenapa?”
Jawab Sang putri
“… !!!” Solihin
hanya menggelengkan kepala sambil mengerutkan kening sebagai ekspresi rasa tak
percayanya.
“Masuklah dulu!
Izinkan saya untuk membalas kebaikan tuan karena telah mengantarkan saya pulang.
Apapun yang tuan inginkan akan saya penuhi.” Pinta Sang putri dengan penuh
harap.
“Tapi…” Solihin lekas
mengambil sikap yang sewajarnya sebagai rakyat biasa terhadap keluarga kerajaan,
dengan menundukkan kepala. “Maaf tuan putri! Bukankah sebagai sesama manusia,
sudah sepatutnyalah kita saling membantu. Dan tugas saya untuk membantu tuan
putri pulang ke Istana sudah selesai. Jadi, sudah waktunya saya untuk pulang
sekarang. Adapun balas jasa yang tuan putri tawarkan barusan, saya pikir itu
tidak perlu, karena saya melakukannya dengan penuh keikhlasan dan bukan karena
ingin memperoleh imbalan apapun. Sekali lagi, saya minta maaf tuan putri!
Bukannya saya tidak mau menerima kebaikan dari tuan putri, hanya saja, saya akan
merasa lebih baik jika tuan putri bisa menganggap pertolongan dari saya ini
hanya sebagai sebuah pemberian, dan bukan seperti barang pinjaman.” Penjelasan
panjang lebar penuh makna itu pun keluar dari bibir Solihin. Ia berusaha agar tidak
menyinggung perasaan Sang putri karena penolakannya tersebut. Dan benar, nampaknya
Sang putri tidak tersinggung sedikitpun, malah ia terkesan dengan perkataan
Solihin.
“Baiklah, kalau
itu yang tuan inginkan. Tuan bisa pulang. Tapi, anda harus berjanji untuk
datang berkunjung di lain waktu! Dan saya ucapkan terima kasih atas bantuan
dari tuan. Senang bisa bersua dengan anda.” Tutur kata yang lembut dari Sang
putri seraya melempar senyum ke arah Solihin.
“Terima kasih
kembali atas pengertiannya yang mulia. Insyaallah saya akan datang berkunjung
jika tak ada aral melintang. Selamat tinggal yang mulia.” Ucap Solihin seraya
membalas senyum dari Sang putri.
“Berhati-hatilah
selama di perjalanan!” Pesan Sang putri
“Iya…” Solihin
pun berbalik badan hendak memulai perjalanan pulang menuju rumahnya, ia
mengambil kudanya, lalu menungganginya dengan pelan.
Di perjalanan pulang, Solihin tak henti-hentinya
memikirkan wajah Sang putri yang cantik jelita. Melalui pertemuan yang singkat
itu rupanya ia telah menemukan wanita idaman yang dicarinya selama ini yang
dengan cepat merasuk ke dalam hati dan pikirannya. Solihin berharap Sang putri
kelak menjadi pasangan hidupnya.
“Alangkah
bahagianya hidupku jika Sang putri bersedia menjadi istriku. Tapi… bisakah hal
itu terwujud? sementara saya hanyalah rakyat jelata yang hidup sebatangkara di
dunia dan makan dengan menerima penghasilan dari hasil menjual kayu bakar di
pasar. Sungguh rasanya mustahil saya bisa bersanding dengan tuan putri yang
hidupnya sudah terbiasa dengan segala kemewahan. Kalau nanti kami menikah, apa
yang bisa saya berikan?” Gumam Solihin yang sedang dalam suasana kegalauan.
Sebulan kemudian, serombongan berkuda dengan sebuah
kereta kencana memimpin di depan mendatangi rumah Solihin, rupanya mereka
adalah orang-orang dari istana. Solihin pun menghampiri. Dan alangkah
terkejutnya ia saat melihat sosok wanita yang sangat diimpikannya, Sang putri
keluar dari kereta kencana. Keduanya saling menatap dalam, atmosfer kerinduan
nampaknya telah mencapai ambangnya. Tapi, Solihin sepertinya harus mengontrol
luapan rindunya itu di hadapan Sang raja yang rupanya datang menyertai
putrinya.
“Hei nak, siapa
namamu?” Tanya Sang raja.
“Ee.. Solihin
yang mulia.” Jawab Solihin sambil melakukan sikap penghormatan yang semestinya
kepada sang raja. “Jika boleh saya tau, ada maksud apa yang mulia datang ke
rumah… ee.. maksud saya.. gubuk saya ini?” Tanya Solihin penasaran.
“Jangan terlalu
merendah. Saya datang ke sini dengan maksud mengantarkan putri saya bertemu
denganmu. Ia menceritakan peristiwa yang terjadi sebulan lalu, entah bagaimana
nasib putri saya kalau tak bersua denganmu waktu itu. Sejak peristiwa itu ia menjadi
lebih sering melamun dan memaksa untuk bertemu dengan sang pangerannya itu.”
“Eh ma..af,
pangeran?” Mendengar kata pangeran, Solihin menjadi semakin kehilangan rasa
percaya diri di hadapan tuan putri. “Mana bisa rakyat rendahan seperti saya
disamakan dengan seorang pangeran?” pikirnya.
“Itu benar tuan,
sejak saat itu saya mulai selalu memikirkan tuan hampir di setiap malam. Saya
selalu memohon untuk pertemuan yang ke-2 dan menunggu di depan istana dengan
harapan tuan akan datang berkunjung sebagaimana janji yang telah tuan ucapkan
dahulu. Kata-kata tuan waktu itu mengisyaratkan kepada saya bahwa tuan adalah
orang yang sangat baik dan bijaksana. Ucapan tuan seketika itu menggetarkan
hati saya dan mungkin tanpa tuan sadari, saat tuan berbalik melangkah untuk
pergi, hati saya telah ikut terbawa oleh tuan.” Tanpa mengindahkan keberadaan
orang-orang di sekitarnya, Tuan putri berhasil meluapkan seluruh perasaannya
yang sudah ditampung selama sebulan lamanya, tanpa kurang satu katapun. Pemilik
dari beberapa pasang telinga yang mendengarnya hanya bisa saling menatap satu
sama lain seolah bertanya “yang tadi itu apa?”. Selama ini para pengawal istana
memang mengenal Sang putri sebagai orang yang tertutup dalam hal percintaan dan
selalu bersikap acuh kepada pangeran-pangeran yang sengaja datang ke istana
hanya untuk menemuinya, meskipun pangeran itu membawa banyak hadiah yang
mewah-mewah untuk Sang putri. Karena sifat Sang putri yang demikian itu, Sang
raja sampai-sampai tak pernah berpikir untuk menjodohkan putrinya kepada
pangeran manapun. Kecuali Tuan putri sendiri yang memintanya.
“Tuan Solihin,
Maukah kau ikut bersamaku? Menjadi suamiku? Menjadi pangeranku?” Tanya Sang
putri dengan sejuta harap bahwa Solihin akan memberikan jawaban yang sesuai
dengan apa yang diharapkannya.
Solihin dengan wajah seperti ‘tak berekspresi’, mungkin
karena saking kagetnya ia sampai bicara pun sudah tak sanggup.
“sa..sa...ya…
ma..ma…u..” Rasa senang Solihin pun melambung seketika itu, sudah tak terkejar.
Sang putri, karena bahagianya mendengar jawaban Solihin spontan
memeluk tubuh Solihin yang berdiri tegap kaku seperti robot. Ketika Solihin hendak
membalas pelukan Sang putri, tiba-tiba pikirannya langsung me-remote pandangannya menuju ke tempat
Sang Raja berdiri, di sana yang ia dapati ialah mimik wajah bahagia dengan senyuman
yang amat lebar serta mata yang berkaca-kaca dengan sedikit air mata yang
membasahi bulu matanya. Dari mimik wajah yang dicermatinya itu, Solihin
sepertinya sudah langsung tahu komentar dari Sang raja tanpa ditanya lagi.
Seraya solihin pun lanjut membalas pelukan Sang putri, memeluknya dengan sangat
erat.
“Puji syukur
kupajatkan padamu Ya Allah, sungguh Engkau yang maha kuasa. Seperti yang telah
Engkau janjikan kepadaku sebelumnya, sebuah kebahagiaan lahir batin. Apakah ini
yang Engkau maksudkan itu Ya Rabb? Jika iya, Terima kasih ya Allah.”
“ALHAMDULILLAHIROBBILAALAMIIN”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Fyuhh...
Akhirnya selesai juga.
Sedikit
opini saya tentang cerita di atas. Tadinya cerita ini saya beri judul
"Lembah Bayangan", kenapa? karena sebenarnya di konsep awal, saya mau
cerita bagaimana si Solihin ini pergi mengembara sampai menemukan seorang istri
yang cantik jelita dan menjadi kaya raya, tetapi setelah saya pikir-pikir, itu
akan butuh alur yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama. Jadi akhirnya,
saya memutuskan untuk merubah alurnya dengan cara membatalkan niat Solihin ke
Lembah Bayangan dan dengan sendirinya istri dan kekayaan itu datang.
(Singkat.titik.selesai) ^_^
1 comment:
terlalu simpel kk" ,,ceritanya mudah ditebak...
Post a Comment