Tuesday, January 14, 2014

Kisah Solihin


Suatu ketika seorang pemuda bernama Solihin pernah bermimpi bertemu dengan seorang kakek tua dengan jenggot putihnya yang tebal dan memakai pakaian kerajaan terdahulu, dalam mimpinya tersebut ia diberi petunjuk oleh si kakek agar segera pergi merantau, maka ia akan bertemu dengan seorang wanita yang cantik jelita di tengah perantauannya tersebut, dan wanita itulah yang akan menjadi pasangan hidup (istri) nya kelak, tidak hanya itu ia pun bisa memperoleh kebahagiaan yang tak berpenghujung. Kakek itu menyuruh Solihin merantau ke lembah bayangan.

Keesokan paginya, Solihin pun akhirnya pergi mengikuti saran dan petunjuk dari kakek yang ada dalam mimpinya semalam, dengan membawa bekal seadanya ia pun berjalan menerobos sengatnya terik matahari dengan membawa serta kudanya. Meskipun ada perasaan cemas yang menghantui di setiap langkahnya dan resah di benaknya kalau seandainya mimpi itu hanyalah bunga tidur belaka, tetapi perasaan itu tak lagi terasa ketika sosok wanita yang dimaksudkan si kakek membayangi pikirannya hingga menutupi kecemasan dan rasa gelisahnya tersebut. Namun, masih ada satu hal yang terbentur di pikiran Solihin yaitu mengenai keberadaan lokasi lembah bayangan.
 “Kemana aku harus mencari lembah itu?” Pikir Sholihin sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Belum jauh berjalan, Solihin tiba-tiba saja berbalik arah tujuan dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia mengurungkan niat yang mustahil baginya untuk diwujudkan. Menurutnya lembah bayangan hanya ada dalam mimpi dan wanita yang cantik jelita itu hanya ada dalam angan-angan.
 “Suatu saat nanti aku akan mendapatkan wanitaku dan kebahagiaanku jika seandainya Yang Maha Kuasa memang berkehendak atas hal itu. AMIN.” Gumam hati Solihin untuk lebih meyakinkan lagi dirinya bahwa yang berhak menentukan jalan hidup manusia adalah Rabbnya, Tuhan Yang Maha Esa dan bukan kakek jenggot putih yang ada dalam mimpinya.

Malam harinya, Solihin kembali bermimpi bertemu dengan kakek yang sama pada mimpi sebelumnya dan membahas masalah yang sama pula. Akan tetapi dalam mimpi kali ini si kakek merubah wujudnya menjadi sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menyilaukan mata berupa gumpalan cahaya yang melayang-layang di atasnya.
 “Solihin… Sesungguhnya kau adalah pemuda yang baik, kau memiliki hati yang luhur, meski banyak pikiran namun keputusan dan perbuatannmu selalu bijaksana, dan kau juga meyakini Rabbmu”
 “Siapa kau sebenarnya?” Tanya Solihin dengan tubuh gemetar ketakutan.
 “Akulah Rabbmu” Jawab-Nya dengan penuh keagungan.
Mendengar hal itu, Solihin dengan segera berlutut, sujud, dan memohon ampunan dari-Nya.
 “Ampunkan hamba-Mu ini yang pernah lalai dan hampir terperdaya oleh nikmat dunia, sekali lagi ampunkan hamba-Mu ya Rabb.”
 “Bangunlah Sholihin, hamba-Ku! Hari itu, engkau memang telah gelap mata dan hendak melakukan kesyirikan. Namun, belum tiba seperempat dari perjalananan, engkau sudah berpaling mengurungkan niat itu dan lekas menyadari kesalahanmu. Sesungguhnya, engkau telah berhasil melewati ujian yang Aku berikan, maka kebahagiaan lahir dan bathin akan segera engkau peroleh.”
 “Terima kasih atas kebijaksanaan-Mu ya Rabb, tapi bagaimana dengan kelalaian hamba yang dahulu pernah terjadi? akankah dapat terbuka pintu maaf bagi hamba-Mu ini?”
 “Sebenarnya, pintu maaf itu telah terbuka sebelum kau memintanya.”

Seketika Solihin terbangun dari mimpinya dan seraya mengucap “ASTAGFIRULLAHALADZIM” sambil menyapu wajah dengan kedua tangannya, diikuti hembusan nafas yang panjang memperlihatkan beban yang selama ini terpendam seakan ikut terbawa bersama nafas yang telah dihembuskan, hal itu sudah cukup membuatnya merasa lapang dan lega atas peristiwa yang menimpanya tempo hari.
 “Sudah waktunya shalat subuh.” Sholihin bergegas meninggalkan tempat tidur dan pergi melaksanakan ibadah shalat seperti yang sudah biasa dilakukannya setiap hari.

Keesokan harinya, datanglah seorang wanita yang membawa serta keretanya (tanpa kuda) singgah di depan rumah Sholihin. Sesekali wanita itu menggerutu dan teriak memanggil-manggil seseorang yang dengan sukarela mau membantunya. Dari dalam rumah, Sholihin mendengar suara gerutu dan teriakan wanita tersebut. Sholihin pun keluar, rupanya dibalik suara itu, ada sosok wajah yang dengan cepat mampu menggetarkan hatinya. Bagi Sholihin, dia adalah bidadari yang turun dari langit.
 “Apa yang terjadi?” Tanya Solihin sementara masih terpaku menatap wajah si wanita seraya mendekat perlahan ke arahnya.
 “Aku ingin pulang ke rumah, tapi aku hanya punya kereta ini, kudanya lari entah kemana. Karena itu aku meminta tolong kepada tuan untuk mengantarkanku pulang, sekiranya tuan punya kuda, akan lebih baik.” Jelas wanita itu.
Tersadar dari lamunan, Solihin mengucap “Astagfirullahaladzim, bukan mukhrim.”
 “Iya, ada. Mari saya antar!” Dengan senang hati, Solihin pun mengambil kudanya,  lalu bergegas mengantarkan wanita itu ke tempat asalnya.

Alangkah terkejutnya Solihin ketika tiba di tempat tujuan, bukan rumah yang dijumpainya, melainkan sebuah istana yang sangat megah, disambut oleh para pengawal istana. Belum selesai Solihin terperangah oleh kemegahan istana tersebut, si wanita yang tidak lain adalah Sang putri yang baru saja pulang dari perjalanan panjangnya menarik tangan Solihin masuk ke dalam istana “Ayo, masuk!”
 “Kamu… seorang putri?” Tanya Solihin keheranan.
 “Iya, kenapa?” Jawab Sang putri
 “… !!!” Solihin hanya menggelengkan kepala sambil mengerutkan kening sebagai ekspresi rasa tak percayanya.
 “Masuklah dulu! Izinkan saya untuk membalas kebaikan tuan karena telah mengantarkan saya pulang. Apapun yang tuan inginkan akan saya penuhi.” Pinta Sang putri dengan penuh harap.
 “Tapi…” Solihin lekas mengambil sikap yang sewajarnya sebagai rakyat biasa terhadap keluarga kerajaan, dengan menundukkan kepala. “Maaf tuan putri! Bukankah sebagai sesama manusia, sudah sepatutnyalah kita saling membantu. Dan tugas saya untuk membantu tuan putri pulang ke Istana sudah selesai. Jadi, sudah waktunya saya untuk pulang sekarang. Adapun balas jasa yang tuan putri tawarkan barusan, saya pikir itu tidak perlu, karena saya melakukannya dengan penuh keikhlasan dan bukan karena ingin memperoleh imbalan apapun. Sekali lagi, saya minta maaf tuan putri! Bukannya saya tidak mau menerima kebaikan dari tuan putri, hanya saja, saya akan merasa lebih baik jika tuan putri bisa menganggap pertolongan dari saya ini hanya sebagai sebuah pemberian, dan bukan seperti barang pinjaman.” Penjelasan panjang lebar penuh makna itu pun keluar dari bibir Solihin. Ia berusaha agar tidak menyinggung perasaan Sang putri karena penolakannya tersebut. Dan benar, nampaknya Sang putri tidak tersinggung sedikitpun, malah ia terkesan dengan perkataan Solihin.
 “Baiklah, kalau itu yang tuan inginkan. Tuan bisa pulang. Tapi, anda harus berjanji untuk datang berkunjung di lain waktu! Dan saya ucapkan terima kasih atas bantuan dari tuan. Senang bisa bersua dengan anda.” Tutur kata yang lembut dari Sang putri seraya melempar senyum ke arah Solihin.
 “Terima kasih kembali atas pengertiannya yang mulia. Insyaallah saya akan datang berkunjung jika tak ada aral melintang. Selamat tinggal yang mulia.” Ucap Solihin seraya membalas senyum dari Sang putri.
 “Berhati-hatilah selama di perjalanan!” Pesan Sang putri
 “Iya…” Solihin pun berbalik badan hendak memulai perjalanan pulang menuju rumahnya, ia mengambil kudanya, lalu menungganginya dengan pelan.

Di perjalanan pulang, Solihin tak henti-hentinya memikirkan wajah Sang putri yang cantik jelita. Melalui pertemuan yang singkat itu rupanya ia telah menemukan wanita idaman yang dicarinya selama ini yang dengan cepat merasuk ke dalam hati dan pikirannya. Solihin berharap Sang putri kelak menjadi pasangan hidupnya.
 “Alangkah bahagianya hidupku jika Sang putri bersedia menjadi istriku. Tapi… bisakah hal itu terwujud? sementara saya hanyalah rakyat jelata yang hidup sebatangkara di dunia dan makan dengan menerima penghasilan dari hasil menjual kayu bakar di pasar. Sungguh rasanya mustahil saya bisa bersanding dengan tuan putri yang hidupnya sudah terbiasa dengan segala kemewahan. Kalau nanti kami menikah, apa yang bisa saya berikan?” Gumam Solihin yang sedang dalam suasana kegalauan.

Sebulan kemudian, serombongan berkuda dengan sebuah kereta kencana memimpin di depan mendatangi rumah Solihin, rupanya mereka adalah orang-orang dari istana. Solihin pun menghampiri. Dan alangkah terkejutnya ia saat melihat sosok wanita yang sangat diimpikannya, Sang putri keluar dari kereta kencana. Keduanya saling menatap dalam, atmosfer kerinduan nampaknya telah mencapai ambangnya. Tapi, Solihin sepertinya harus mengontrol luapan rindunya itu di hadapan Sang raja yang rupanya datang menyertai putrinya.
 “Hei nak, siapa namamu?” Tanya Sang raja.
 “Ee.. Solihin yang mulia.” Jawab Solihin sambil melakukan sikap penghormatan yang semestinya kepada sang raja. “Jika boleh saya tau, ada maksud apa yang mulia datang ke rumah… ee.. maksud saya.. gubuk saya ini?” Tanya Solihin penasaran.
 “Jangan terlalu merendah. Saya datang ke sini dengan maksud mengantarkan putri saya bertemu denganmu. Ia menceritakan peristiwa yang terjadi sebulan lalu, entah bagaimana nasib putri saya kalau tak bersua denganmu waktu itu. Sejak peristiwa itu ia menjadi lebih sering melamun dan memaksa untuk bertemu dengan sang pangerannya itu.”
 “Eh ma..af, pangeran?” Mendengar kata pangeran, Solihin menjadi semakin kehilangan rasa percaya diri di hadapan tuan putri. “Mana bisa rakyat rendahan seperti saya disamakan dengan seorang pangeran?” pikirnya.
 “Itu benar tuan, sejak saat itu saya mulai selalu memikirkan tuan hampir di setiap malam. Saya selalu memohon untuk pertemuan yang ke-2 dan menunggu di depan istana dengan harapan tuan akan datang berkunjung sebagaimana janji yang telah tuan ucapkan dahulu. Kata-kata tuan waktu itu mengisyaratkan kepada saya bahwa tuan adalah orang yang sangat baik dan bijaksana. Ucapan tuan seketika itu menggetarkan hati saya dan mungkin tanpa tuan sadari, saat tuan berbalik melangkah untuk pergi, hati saya telah ikut terbawa oleh tuan.” Tanpa mengindahkan keberadaan orang-orang di sekitarnya, Tuan putri berhasil meluapkan seluruh perasaannya yang sudah ditampung selama sebulan lamanya, tanpa kurang satu katapun. Pemilik dari beberapa pasang telinga yang mendengarnya hanya bisa saling menatap satu sama lain seolah bertanya “yang tadi itu apa?”. Selama ini para pengawal istana memang mengenal Sang putri sebagai orang yang tertutup dalam hal percintaan dan selalu bersikap acuh kepada pangeran-pangeran yang sengaja datang ke istana hanya untuk menemuinya, meskipun pangeran itu membawa banyak hadiah yang mewah-mewah untuk Sang putri. Karena sifat Sang putri yang demikian itu, Sang raja sampai-sampai tak pernah berpikir untuk menjodohkan putrinya kepada pangeran manapun. Kecuali Tuan putri sendiri yang memintanya.
 “Tuan Solihin, Maukah kau ikut bersamaku? Menjadi suamiku? Menjadi pangeranku?” Tanya Sang putri dengan sejuta harap bahwa Solihin akan memberikan jawaban yang sesuai dengan apa yang diharapkannya.
Solihin dengan wajah seperti ‘tak berekspresi’, mungkin karena saking kagetnya ia sampai bicara pun sudah tak sanggup.
 “sa..sa...ya… ma..ma…u..” Rasa senang Solihin pun melambung seketika itu, sudah tak terkejar.

Sang putri, karena bahagianya mendengar jawaban Solihin spontan memeluk tubuh Solihin yang berdiri tegap kaku seperti robot. Ketika Solihin hendak membalas pelukan Sang putri, tiba-tiba pikirannya langsung me-remote pandangannya menuju ke tempat Sang Raja berdiri, di sana yang ia dapati ialah mimik wajah bahagia dengan senyuman yang amat lebar serta mata yang berkaca-kaca dengan sedikit air mata yang membasahi bulu matanya. Dari mimik wajah yang dicermatinya itu, Solihin sepertinya sudah langsung tahu komentar dari Sang raja tanpa ditanya lagi. Seraya solihin pun lanjut membalas pelukan Sang putri, memeluknya dengan sangat erat.

 “Puji syukur kupajatkan padamu Ya Allah, sungguh Engkau yang maha kuasa. Seperti yang telah Engkau janjikan kepadaku sebelumnya, sebuah kebahagiaan lahir batin. Apakah ini yang Engkau maksudkan itu Ya Rabb? Jika iya, Terima kasih ya Allah.”

 “ALHAMDULILLAHIROBBILAALAMIIN”

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Fyuhh... Akhirnya selesai juga.

Sedikit opini saya tentang cerita di atas. Tadinya cerita ini saya beri judul "Lembah Bayangan", kenapa? karena sebenarnya di konsep awal, saya mau cerita bagaimana si Solihin ini pergi mengembara sampai menemukan seorang istri yang cantik jelita dan menjadi kaya raya, tetapi setelah saya pikir-pikir, itu akan butuh alur yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama. Jadi akhirnya, saya memutuskan untuk merubah alurnya dengan cara membatalkan niat Solihin ke Lembah Bayangan dan dengan sendirinya istri dan kekayaan itu datang. (Singkat.titik.selesai) ^_^

1 comment:

Unknown said...

terlalu simpel kk" ,,ceritanya mudah ditebak...